Ibrahim & Iblis (Romantika Perjuangan Mencintai Tuhan)


Memperjuangkan cinta memang tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi cinta kepada Tuhan. Ada harga yang harus dibayar, jiwa yang harus digadaikan hingga nyawa yang harus dikorbankan. Cinta memang buta. Namun dari kebutaan itulah cinta justru tumbuh, mekar dan berbunga di puncak harum lan wangi surga. Kisah perjuangan manusia-manusia yang mencintai Tuhan namun dengan cara yang berbeda, merupakan kisah yang menarik untuk diceritakan.

Allah sendiri menegaskan dalam al-Qur’an, “Wa laqad ittakhadza Allahu Ibrahima khalila” (an-Nisa’: 125), bahwa Nabi Ibrahim benar-benar kekasih-Nya. Penerimaan cinta Ibrahim terhadap Tuhan melewati beberapa tahap yang sulit. Oleh karena itu Allah menyanjungnya dan menghargai cinta Ibrahim dengan menunjuknya sebagai al-khalil.

Dalam al-Qur’an Allah memakai beberapa bentuk istilah untuk mengungkapkan kata cinta. Selain istilah al-khalil  yang berasal dari kata al-khullah, Allah juga memakai kata al-hubb serta istilah-istilah esoteris lainnya yang berkonotasi pada makna suka dan cinta.
FOLLOW untuk mengikuti artikel-artikel mencerahkan

Namun dari sekian istilah yang ada, menurut Syeikh Abi al-‘Iz al-Hanafi (w. 792 H), al-khalil; al-khullah merupakan puncak pengungkapan cinta yang Allah gunakan dalam al-Qur’an. Karena al-khullah –yang merupakan derivasi dari kata khala-yakhlu(menyendiri)- merupakan cinta yang menafikan wujud lain selain wujud dzat yang dicintai. Dalam artian, hanya ada satu dan tak tergantikan di hati Ibrahim; cintanya murni dan khusus teruntuk Allah.

Ibrahim suatu kali pernah berdoa dan meminta kepada Allah agar diberi anak keturunan. Allah mengabulkan permintaan tersebut dan mengirimkan Ismail. Namun setelah memiliki keturunan Ibrahim nampaknya memiliki kecenderungan untuk mencintai Ismail lebih. Allah cemburu dan ingin menguji apakah kemunculan Ismail itu lalu mengikis cinta Ibrahim pada-Nya? Penyembelihan pun diperintahkan. Batu ujian yang sangat sulit karena pada kenyataannya Ibrahim memang mencintai Ismail sebagai anak satu-satunya.

Namun Ibrahim menyakinkan bahwa cintanya pada Allah memang tak tergantikan. Meskipun ia mencintai Ismail, kedudukan cinta tersebut tidak sama sekali merepresentasikan apalagi melebihi cintanya pada Allah. Ujian cinta semacam ini tidak akan pernah kita temukan dalam kisah-kisah percintaan yang kita kenal dalam sejarah percintaan antar manusia. Berbeda dengan cinta Ibrahim pada Allah, cinta manusia selamanya semu, yang hampir dipastikan gagal ketika diuji sebagaimana ujian cinta Ibrahim kepada Allah.

Jauh sebelum Ibrahim lahir, Iblis sudah terlebih dahulu menunjukkan cintanya yang begitu ikhlas kepada Allah. Dalam al-Qur’an kisah cinta Iblis terekam pada banyak ayat, salah satunya dalam surat al-Baqarah: 30-37. Meskipun ayat-ayat tersebut selama ini banyak atau selalu dibawa kepada makna negatifnya: bahwa Iblis sombong, enggan bersujud kepada Adam lalu dicap sebagai pendurhaka, namun pada tulisan kali ini ayat tersebut akan dilihat dari sudut yang lebih positif, yang memperlihatkan sebegitu besar cinta yang Iblis miliki.

Sebelum Adam diciptakan, Iblis sudah mengabdi dan membuktikan kecintaannya pada Allah dengan merawat ketaatan  yang bahkan tidak mampu disamai oleh malaikat. Tanpa berhenti Iblis melakukan ibadah kepada Allah. Dia buktikan bahwa cinta yang ia miliki benar-benar satu dan tiada lain hanya untuk Allah.

Setelah Adam diciptakan, Allah lalu memerintahkan Iblis untuk sujud kepada Adam. Meski hanya bermakna penghormatan, Iblis tidak rela. Iblis menolak bersujud karena ketetapan hati yang sudah lama dia pegang; hanya Allah-lah satu-satunya Dzat yang pantas ia sembah. Satu-satunya Dzat yang pantas menerima serta melihat kerekatan dahinya pada tanah.

Keteguhan prinsip ini yang mendorong Iblis dengan terang-terangan menolak perintah Allah. Perintah yang seharusnya tak ditolaknya sekaligus perintah tak pernah diterima batinnya. Perintah yang sama sekali tidak terbayangkan beratnya; perintah sang kekasih untuk bersujud kepada mahluk, dzat selain Dia. Kasus ini sama dengan seorang suami yang memerintahkan istrinya untuk mencintai laki-laki lain. Bagi Iblis, meskipun perintah tersebut datang dari Allah, ya harus ditolak.

Dalam Thawasin Al-Hallaj (w. 301 H) mengapresiasi dan bertepuk tangan terharu atas sikap Iblis dengan berkata, “ma kana lillahi muwahhidun illa Iblis!” (tidak ada yang memiliki tauhid murni kepada Allah kecuali Iblis). Tauhid murni yang dimiliki Iblis tak lain adalah representasi kecintaannya yang begitu dalam kepada Allah.

Dengan mengajukan alasan ana khairun minhu, khalaqtani min nar wa khalaqtahu min thin, Iblis sebenarnya sedang melakukan usaha agar penolakannya dapat dimaklumi oleh Allah, sang kekasih. Meskipun pada akhirnya dicap durhaka dan diusir dari surga,  Allah masih mengabulkan permintaan Iblis untuk hidup hingga hari kiamat. Seakan-akan ada tanda tersirat bahwa kecintaan yang murni mesti abadi dan Iblis harus hidup hingga kiamat; pertama agar manusia belajar dari kisahnya untuk menjaga diri dari kesombongan dan kedurhakaan, yang kedua untuk mengabadikan lambang cinta abadi Iblis kepada Allah. Dan Allah pun tahu itu.

Ada dua bentuk perasaan cinta seorang hamba kepada Tuhannya: Ibrahim mengabdikan diri, melaksanakan seluruh perintah-Nya tanpa bertanya. Mengangguk iya meskipun pada dasarnya ada pergolakan batin yang terjadi dalam hatinya. Sedangkan Iblis justru mengekspresikan cintanya dalam bentuk penolakan sujud kepada Adam. Berani mengambil resiko dan menerima seluruh konsekuensinya demi kemurnian serta kebeningan cinta yang dia miliki. Ibrahim dengan cinta afirmatifnya dan Iblis dengan cinta negatifnya.

Kita pun harus belajar dan menetapi bahwa tauhid pada hakikatnya adalah modal untuk membangun perasaan cinta kita kepada Allah. Baik Ibrahim maupun Iblis merupakan contoh yang sama-sama baik dalam mengungkapkan cintanya pada Allah.

Banyak cara mencintai Allah. Namun seluruh cara dan jalan yang ditempuh tersebut menghulu dari sekaligus menghilir pada tauhid serta mengesakan Allah, pada keyakinan tunggal akan Dzat Allah. Sebuah perjalanan penuh romantika dan lika-liku yang berujung indah pada peleburan antara Ibrahim-Iblis sebagai sosok yang mencintai, dan Allah Dzat yang dicintai.

(Hilmy Firdausy)
Home Home Home