SAYA INGIN MATI


Sore hari pun tiba. Puasa Ramadhan masih hari pertama. Saya menyempatkan diri singgah di rumah sederhana Sang Bijak, tak jauh dari penginapan saya. Hampir setengah jam saya menunggu, akhirnya Sang Bijak pun keluar dari bilik rumahnya. Beliau duduk di lantai, saya yang tadinya duduk di kursi juga beranjak turun untuk duduk di lantai juga dengan maksud untuk menghormatinya. Tapi Sang Bijak melarangnya, dan mempersilakan saya untuk tetap duduk di atas kursi.

"Nak, yang namanya sopan itu bukan yang tua di atas dan yang muda di bawah. Kesopanan yang semacam itu hanya berlaku dalam masyarakat tertentu saja. Kesopanan yang bersifat universal itu antara lain selalu berkata baik dan jujur, mampu menjadi pendengar yang baik, tidak suka menyakiti orang lain." Begitu kata beliau sambil memasang kancing bajunya. Saya hanya bisa tersenyum dan mengangguk.

"Bapak puasa hari ini?", tanya saya.

"Bapak nggak puasa, Nak. Tapi seharian ini Bapak tidak makan tidak minum tidak merokok. Kalau Bapak benar-benar menjalani puasa, maka Bapak bisa jadi orang sakti. Jadi, ya Bapak hanya mampu berpantang untuk tidak memasukkan bahan makanan ke dalam tubuh sampai nanti adzan maghrib." Saya yakin Sang Bijak sedang bermain kata-kata bahwa orang yang benar-benar berpuasa akan menjadi 'sakti'. Entah apa maknanya. Atau mungkin begitulah cara beliau menyembunyikan peribadatannya.

"Nak, semua ritual keagamaan punya tujuan sama, yaitu jika dilakukan betul-betul dapat membentuk karakter pemeluknya untuk lebih baik. Tapi kalau kamu bisa potong kompas dan mampu menjadi orang baik, tanpa menjalankan ritual agama ya juga nggak apa-apa. Semua pernak-pernik ritual itu kan cuma ibarat kendaraan, kalau sudah sampai di tujuan masak kendaraannya masih mau dipakai terus? Kalau sudah sampai pada tujuan beragama, maka tidak ada lagi yang namanya pengkhianatan terhadap amanah. Sekarang kan nggak; disuruh menjaga laut malah jadi bajak laut, dipercaya untuk menjaga hutan malah membakar hutan, dipercaya menjaga kekayaan negara malah seneng seperti tikus di gudang keju yang siap berpesta".

"Bukankah kalau menjalani agama akan masuk surga tempat yang sangat indah penuh kenikmatan tiada akhir?", tanya saya.

"Nak, bentuk surga yang diperkenalkan oleh para Guru Bijak terdahulu jangan serta merta kamu maknai secara harfiah. Itu hanya perumpamaan atas sebuah kondisi jiwa yang diliputi kebahagiaan yang tak tergambarkan oleh kata-kata. Ya hanya sebatas iming-iming saja agar manusia mau berbuat baik. Agama-agama samawi menggambarkan surga seperti taman indah nan subur dengan sungai-sungai mulanya digagas oleh nabi-nabi Yahudi, digambarkan seperti itu karena mereka hidup di padang pasir yang tandus, sehingga mereka mengimpikan sebuah tempat yang subur. Andai nabi-nabi itu dilahirkan di Nusantara, tentu iming-imingnya bukan lagi taman yang subur, karena di sini sudah banyak hutan-hutan dan sungai-sungai indah alami. Mungkin saja surganya dilukiskan bagai tempat bersalju seperti keindahan alam di daratan Eropa".

"Tapi, Pak." Saya mencoba menyela, "mengapa orang bilang bahwa bentuk surga memang seperti yang dijelaskan dalam kitab suci? Saya bahkan sempat ingin mati untuk membuktikan kebenarannya. Tapi kadang takut juga kalau-kalai begitu masuk kuburan lalu disiksa".

"Hahaha. Orang yang meyakini bentuk surga sama persis seperti yang digambarkan dalam kitab suci ya hak mereka, bisa jadi mereka merasa nyaman dengan khayalannya. Nak, jangan samakan antara Alam Kubur dengan Kuburan. Kalau benar-benar ada siksaan fisik buat si mayit di dalam kuburan, maka beruntunglah orang-orang yang matinya tidak dikuburkan, misalnya orang yang mati tenggelam di lautan. Kalau gitu ya aku mau nggak dikubur saja nanti kalau mati biar nggak disiksa. Jadi tentang Alam Kubur itu tetap menjadi misteri, pasti ada sesuatu yang tak terlukiskan di balik perumpamaan itu".

"Nak, penggambaran itu hanya merupakan keterbatasan pikiran manusia akan kondisi yang sebenarnya. Alam setelah kematian itu penuh misteri, selalu diliputi kabut ketidaktahuan. Untuk apa ingin mati? Jalani saja kehidupan ini sampai jasad ini mati secara alami. Sedangkan apa yang akan terjadi setelah itu, manusia hanya bisa berspekulasi. Maka hiduplah di bumi ini dengan tingkat kesadaran yang tinggi. Biarlah alam berjalan sesuai kehendaknya. Alam senantiasa bergerak menuju keseimbangan, dan puncak dari keseimbangan itu adalah 'ketiadaan'. Bapak tak mampu menjelaskan ini lebih jauh lagi, Nak".

Adzan maghrib pun berbunyi, lalu kami menikmati secangkir kopi.

"9"


Home Home Home