Melancong ke Raja Ampat Jangan Modal Nekat

Keelokan Pulau Wayag di Kabupaten Raja Ampat menjadi primadona bagi turis petualang yang ingin menikmati pemandangan indah dari ketinggian sekitar 150 meter dari pantai dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Perjalanan dengan kapal cepat dari Waisai ke Wayag sekitar tiga jam.
RAJA Ampat di Provinsi Papua Barat, ibarat surga kecil yang jatuh di bumi. Keindahannya yang menakjubkan memang seperti yang selama ini selalu didengung-dengungkan dalam sejumlah promosi.
Lautnya yang jernih dengan ribuan ikan di terumbu karang dapat dengan mudah dinikmati dari atas kapal, menjadi impian banyak orang untuk bisa pesiar di salah satu provinsi terujung di ujung Timur Indonesia.

Kabupaten Raja Ampat di Provinsi Papua Barat biasa disebut ”kepala burung” memiliki luas wilayah 46.108 kilometer persegi, dan hampir 80 persen di antaranya laut. Panjang pantainya mencapai 4.860 kilometer. Namun, penghuninya hanya sekitar 60.000 jiwa di 35 pulau dari 610 pulau yang ada. Penduduknya tersebar di 98 desa dan 17 distrik. Penduduk lokalnya terdiri atas 10 suku yang memiliki mata pencarian utama sebagai nelayan.

Sejak perjalanan dengan kapal cepat selama 2 jam dari Sorong ke Pelabuhan Waisai di Raja Ampat, mata sudah dimanjakan dengan pemandangan laut nan biru dan jerih. Pemandangannya semakin menakjubkan begitu memasuki wilayah Raja Ampat. Meski suhu udara rata-rata 45 derajat celsius, bukan alasan untuk tidak menjajal obyek wisata kabupaten yang dikelilingi gugusan pulau karang ini.

Turis yang datang ke Raja Ampat pun bukan sembarangan. Sebab, mereka harus mau merogoh kocek tak kurang dari Rp 20 juta per orang. Itu kompensasi untuk keindahan yang dilihat sembari berenang dan menyelam di beberapa kawasan, serta mengunjungi pulau-pulau nan indah itu. Perjalanan dari satu pulau ke pulau lain dengan kapal kecil cepat minimal 3 jam untuk sampai di Pulau Wayag. Pulau ini merupakan salah satu tujuan wisata yang menjadi primadona di kawasan Raja Ampat.

Ongkos ”cuci mata” melihat pemandangan keindahan Raja Ampat di antaranya terkuras dari sewa kapal yang membutuhkan Premium sampai sekitar 400 liter pergi-pulang Waisai – Wayag. Sewa kapal juga digunakan untuk melintasi gugusan pulau berbagai bentuk, pasir putih, dan hutan termasuk goa di dalam laut.
Harga bahan bakar minyak (BBM) di Raja Ampat cenderung tiga kali lebih mahal dari harga normal.

Pengunjung yang memasuki Kepulauan Wayag, wajib bayar retribusi untuk konservasi Rp 250.000 bagi turis lokal, dan Rp 500.000 orang asing. Begitu membayar retribusi untuk Conservation International Indonesia, pengunjung diberi sebuah medali plastik berlaku selama setahun.

Seperti dikemukakan Ade Setiabudi, pengelola Hatel Waisai Beach, biaya piknik ke daerah ini lebih mahal dibandingkan ke tempat lain termasuk di Eropa. Dengan menyewa sebuah kapal cepat berpenumpang enam orang, turis bisa menikmati keindahan Raja Ampat seperti di Waigeo, menyelam di Waiwo dan Missol, mengunjungi Desa Wisata Sawingrai untuk melihat burung cenderawasih, dan Pianemo, sebuah gugusan pulau kecil di Raja Ampat.

Jika ingin menginap tidak di Waisai bisa di Pulau Waigeo dengan tarif minimal Rp 500.000 termasuk biaya makan sehari, ditambah biaya menyelam termasuk peralatan sekitar Rp 500.000 per orang. Ada juga tawaran paket wisata di Pulau Pef, terutama penyelam yang ingin menginap dan menyelam sepuasnya dari tarif 2.350 euro (Rp 28 juta) hingga 7.000 euro (Rp 84 juta).

Menapaki keindahan di Bumi Cenderawasih itu memang tidak hanya menyelam atau berenang meski keindahan dan pesona Raja Ampat di dominasi hamparan terumbu karang dan biota bawah laut, pantai berpasir putih, gugusan pulau-pulau kecil yang cantik, dan hutan yang masih perawan.

Jika ingin menikmati suasana pedesaan di Raja Ampat, bisa menginap atau sekadar mampir di Desa Sawing Rai di Pulau Sawing Rai, sekitar dua jam perjalanan dari Waisai. Pengunjung biasanya bisa memberi makan ikan berupa adonan sagu sehingga berbagai jenis ikan akan menyerbu. Selanjutnya pengunjung bisa melihat lebih dekat burung cenderawasih dengan mendaki Bukit Manjai, Sawing Rai, selama 30 menit.

Puluhan burung cenderawasih merah, belah rotan, kecil, dan cenderawasih besar akan tampak hinggap di pohon setinggi 2 meter. Namun, untuk bisa melihat burung cenderawasih, ada waktu tertentu terutama pada cuaca cerah.

Bukan wisata massal
Wisata Raja Ampat tak pelak memang menjadi incaran banyak orang dari berbagai belahan dunia. Meskipun ongkosnya mahal, agaknya tidak menjadi alasan bagi turis untuk datang.

Keindahan wilayah juga karena hiasan hutan bakau yang lestari. Seperti dikemukakan Kepala Dinas Pariwisata Raja Ampat Yusdi Lamatenggo, daya tarik wisata Raja Ampat terletak pada kekayaan bahari. Oleh karena itu, sebagai taman nasional, Raja Ampat tidak bisa dikembangkan sebagai pariwisata massal. Tujuannya, jelas yaitu agar kawasan itu tetap terjaga kelestarian alamnya sebagai taman nasional.

Untuk mempertahankan kelestariannya, upaya yang dilakukan adalah pembatasan bagi aktivitas penyelaman di Raja Ampat. Alasannya, suhu badan yang dikeluarkan para penyelam dikhawatirkan bisa merusak terumbu karang.

Jadi, kata Yusdi, kegiatan menyelam bareng sekian puluh orang dalam waktu bersamaan, tidak mungkin diizinkan. Bahkan, kegiatan fotografi di bawah laut pun dilarang secara besar-besaran karena sinar lampu kamera bisa merusak terumbu karang.

Hal serupa juga diungkap Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar. Menurut dia, pariwisata Raja Ampat diharapkan memang tidak menjadi wisata massal dan murah sehingga orang berbondong-bondong datang. ”Turis yang ke Raja Ampat harus berkualitas dan berpendidikan. Artinya, paham bagaimana bersikap meski sedang melancong agar terumbu karang tidak rusak,” katanya.

Pemerintah Kabupaten Raja Ampat juga telah membuat beberapa aturan main pembatasan untuk menjaga kelestarian kawasan tersebut. Salah satunya adalah membatasi keberadaan resor. Sampai 10 tahun ke depan, jumlah resor dibatasi maksimal 20 resor saja. Begitu juga jumlah kapal cepat yang beroperasi. Saat ini ada tujuh resor, sementara kapal cepat sebanyak 40 unit berbagai ukuran dan kapasitas penumpang berbeda.

Memang turis yang hendak ke Raja Ampat, umumnya memiliki jiwa petualang serta gemar menyelam dan renang. Apalagi kapal cepat yang mengangkut turis dari satu pulau ke pulau lain, seperti dari Waisai – Wayag, nakhodanya umum tidak menjalani pendidikan secara formal. Kapal pun umumnya belum dilengkapi penerangan, kompas, atau sarana lain untuk komunikasi dengan rekan sesama pengemudi kapal atau untuk menentukan arah yang dituju dan posisi kapal. Rata-rata kapal hanya ada drum berisi BBM dan semua penumpang belum mengenakan pelampung.

Contohnya, saat Kompas menempuh rute Waisai-Wayag. Saat berangkat, cuaca sangat bagus, dan laut nyaris tak bergolak. Namun, saat perjalanan pulang ke Waisai, hampir satu jam kapal berpenumpang 8 orang sempat tertahan di tengah laut karena nakhoda kehilangan arah.

Sarana pelabuhan untuk standar kapal, juga minim. Ini banyak membuat nakhoda nyaris putus asa karena posisi tak bisa cepat merapat dan kapal hanya berputar-putar di tengah laut Samudra Pasifik. Kapal akhirnya lolos ke Waisai, setelah mendapat pertolongan dari kapal lain yang juga kemalaman dari Wayag.
Menginjakkan kaki di Raja Ampat, agaknya impian banyak orang. Memang biaya bukan kendala jika tekad sudah bulat untuk menikmati keelokan laut serta pemandangan di kawasan itu. Namun paling utama, sebelum melancong ke Raja Ampat, sebaiknya mengukur tenaga. Baik menyelam maupun mendaki bukit karang, jelas membutuhkan kekuatan fisik. Sebab ketika berada di puncak Wayag, tidak ada tempat untuk duduk atau berdiri berlama-lama.

Untuk mendaki juga ada dua titik, satu lokasi melalui tepi pantai, tempat lain pendaki langsung melompat dari kapal dan berpegangan di batu karang atau pohon. Perjalanan juga semakin seru karena begitu tiba di puncak, pengunjung yang mengabadikan keelokan laut dengan berbagai warna karena pantulan cahaya, terumbu karang, serta kedalaman laut, harus segera turun. Kapasitas di puncak maksimal hanya 10 orang. Pendaki yang akan ke puncak, terpaksa harus menunggu rombongan sebelumnya turun dari puncak. Kalau dipaksakan di puncak, pengunjung bisa berdesakan dan akhirnya membahayakan. Salah-salah pengunjung bisa terjun ke laut.

Untuk melancong ke Raja Ampat, waktu paling ideal adalah September-Mei meskipun cuaca panas. Adapun Juni-Agustus, terjadi angin kencang sehingga ketinggian ombak bisa mencapai 4 meter.
Arus kunjungan wisatawan yang datang ke Raja Ampat hingga kini tercatat masih didominasi turis mancanegara. Rombongan turis asing menggunakan kapal pesiar, umumnya betah tinggal di kawasan wisata laut dan hutan itu. Jadi, jika ingin piknik ke Raja Ampat, tak cukup berkantong tebal, tetapi memiliki jiwa petualang. Paling utamanya, jangan meninggalkan sampah di kawasan surga kecil di bumi itu agar keelokannya tetap abadi.

Penulis: Agnes Swetta Pandia
Sumber: http://travel.kompas.com/read/2012/11/19/08173594/Melancong.ke.Raja.Ampat.Jangan.Modal.Nekat
Home Home Home