Carok: Hak, Harga Diri dan Wanita

Oleh Syaf Anton Wr
Tiang penyangga kuatnya tradisi Madura tak lepas dari prinsip “ Lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata “ maksudnya lebih baik mati daripada menanggung malu. Ungkapan ini berlaku demi untuk mempertahankan martabat, hak dan harga diri sebagai orang Madura. Dan biasanya timbulnya perselisihan tidak lepas dari permasalahan lingkungan dan wanita.
Dan tentang wanita sendiri, bagi laki-laki Madura mendapat tempat tertinggi, karena dari wanitalah kaum pria di Madura menjadi lebih bersemangat, dan dari kaum wanita pula dapat menimbulkan pembunuhan. Karena tingginya kedudukan wanita Madura, maka kaum wanita khususnya para gadis dikonotasikan dengan perlambang melati. Maka tak heran falsafah melati menjadi pujian bagi orang-orang tua Madura dengan ucapan “duh tang malate”, ta’ gegger polana ojen, ban ta’ elop polana panas are”, artinya; oh melatiku, yang tak gugur karena hujan dan tak layu karena panas matahari.
Jadi kalaupun dalam suatu peristiwa carok lantaran wanita hal itu telah merupakan kenyataan yang tak mungkin dihindarkan. Demikian pula masalah hak. Permasalahan ini erat kaitannya dengan permasalahan linkungan yang dijajah atau diganggu oleh pihak lain. Dalam wujud ini, biasanya banyak dikaitkan dengan permasalahan irigasi yang merupakan penentu kelangsungan hidup bagi masyarakat setempat. Karena hanya air yang menjadikan mereka dapat bertahan.
Tapi dalam kondisi yang lain, peranan wanita Madura dibandingkan dengan kaum pria belum seluas sebagaimana peran-peran yang dilakukan wanita-wanita kota besar, meskipun pada dasarnya wanita Madura telah mengenal persamaan hak dan kewajiban dengan suami. Atau dengan kata lain bisa disebut semacam emansipasi pembawaan naluri. Seorang istri mampunyai peran dan tanggung jawab yang sangat penting untuk menegakkan martabat dan kehidupan rumah tangga. Mereka bersama-sama turun ke lading membanting tulang dan memeras keringat hingga “ agili pello koneng “ (mengalir keringat kuning), maksudnya bekerja keras sampai tuntas. Rasa kebersamaan kerja ini juga berlaku dipasar, dilaut, atau juga dimana saja sang suami membanting tulang.
Namun demikian satu kelebihan wanita Madura, tugas-tugas yang lain, baik sebagai ibu dari anak-anaknya maupun sebagai pendamping suami dari menyiapkan makan dan minum maupun tetek bengek lainnya, sang istri akan selalu setia melayani. Tetapi didalam persamaan hak tersebut, wanita Madura menurut tradisi harus selalu hidup dibawah kekuasaan pria (suami). Artinya wanita Madura harus tunduk, patuh, taat dan menyerah pada kemauan suami dan tidak dibenarkan untuk menolak maupun membantah. Bahkan untuk menentukan perkawinan diteruskan atau diputuskan. Dan apabila suami tidak mampu memberikan keturunan, biasanya sang suami mengambil inisiatif untuk menalak atau kawin lagi dengan alas an demi meneruskan keturunan.
Demikian pula sebaliknya sang suami tidak akan merestui bila istri berkehendak minta cerai. Kecuali bila suami melepaskan dengan suka rela. Tapi hal itu jarang dan sulit terjadi, karena menyangkut prestise dan harga diri sebagai laki-laki yang harus dipertahankan. Kalaupun sampai terjadi, maka akan berakibat buruk dan berkepanjangan, terutama kalau perkawinan terjadi antar keluarga. Hubungan keluarga akan menjadi retak. Akibat yang lain bila suatu ketika bekas istrinya kawin lagi dengan pria lain, maka tak ayal akan terjadi dan timbul permusuhan, cemburu dan sakit hati bekas suaminya. Apalagi dikemudian hari bekas istri menemukan kebahagiaan lain.


Pada prinsipnya, suami Madura biasanya bersikap keras dan tegas dalam membela kehormatan dan kesudian istrinya. Dan umumnya pangkal utama timbulnya perselisihan dari kaum wanita. Sehingga tak heran timbulnya carok, kadang hanya masalah sepele, yaitu lantaran bekas istri dilamar atau dikawin dengan laki-laki lain.
Terkadang konflik antara dua orang biasanya merembet melibatkan orang lain, antar keluarga, kerabat bahkan sampai melibatkan semua penduduk kampong. Peristiwa carok antar kampong yang cukup mengerikan pernah terjadi beberapa tahun lampau, tepatnya di Bangkalan. Carok missal itu terjadi antara penduduk desa Bilaporah dengan penduduk Jodih saling berhadapan dengan clurit ditangan. Dan akibatnya 5 orang tewas serta beberapa puluh lainnya luka-luka parah. Kejadian ini sempat menggegerkan masyarakat Bangkalan khususnya, hingga membuat Bupati, Polisi, Tentara dan para ulama prihatin dan turun tangan. Dan banyak contoh-contoh lain yang kerap terjadi peristiwa carok di pulau Madura maupun daerah-daerah lain di Jawa yang kebanyakan dilator belakangi oleh adat istiadat yang dibawa dari Madura.
Beberapa pendapat mengatakan, pengertian carok sebenarnya duel antara satu melawan satu. Itupun dilakukan dengan unsure sengaja. Artinya kemampuan dan ketinggian ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan diketahui bila tanpa dibuktikan dilapangan. Jadi bila seseorang telah memungkinkan untuk menjajal ketinggian ilmunya, maka biasanya ia dengan sengaja mengganggu ketentraman orang lain, baik mengganggu keluarga maupun istri seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dan ilmu yang setara. Bila tak heran akan memancing dan merangsang emosi pihak yang keluarganya diganggu untuk menantang carok. Nah saat itu pula mereka mengadakan perjanjian menetukan waktu dan tempat bertarung dengan disaksikan beberapa orang/tokoh yang lain.
Sementara pendapat yang lain mengatakan, carok pada awalnya merupakan suatu bentuk permainan pentas yang dilakukan masyarakat Madura tradisional. Menurut cerita, pentas semacam itu tiap-tiap daerah mempunyai nama tersendiri. Di daerah Sampang menyebut “karja” di Pamekasan menyebut “ salabadan”, sedang di Sumenep disebut “pojian”.
Pentas semacam tersebut digelar dalam bentuk teater arena (semacam Lenong Rumpi). Jadi antara pelaku dan penonton tidak ada jarak, mereka bergantian tampil sesuai dengan karakter masing-masing dengan diiringi “saronen”, yaitu sejenis tabuhan yang biasa dialunkan sebagai pengiring kerapan sapi atau hajat lainnya, merupakan jenis music tradisional Madura.
Dalam gelar tersebut biasanya menampilkan nama-nama tokoh artificial sebagai pengantar cerita kepahlawanan yang menggambarkan tokoh-tokoh Madura seperti Sakerah, Ke’ Lesap dan sebagainya. Dalam babak tersebut diperagakan suatu bentuk perkelahian sebagai klimaks cerita.
Bahkan pernah sampai terjadi perkelahian sungguhan, dan mengakibatkan salah seorang diantaranya tewas. Melihat latar belakang peristiwa tersebut, karena orang-orang Madura telah kadung di klaim sebagai orang yang berwatak keras, bringas dan “mbalelo”. Maka setiap perkelahian dan menjatuhkan korban yang dilakukan orang Madura, dianggap sebagai perkelahian carok.
Ironisnya, pada gilirannya masyarakat luar Madura memandang Madura sebagai wujud berindentik kekerasan dan carok. Padahal bila ditelusuri lebih jauh, justru di Madura banyak terkandung nilai-nilai luhur. Baik dari segi social budaya, social masyarakat maupun social ekonomi. Dengan demikian, prospek masyarakat Madura bak mutiara dalam bukit tanah kapur.

Source
Home Home Home